Yogyakarta, sebuah kota yang selalu menyimpan sejuta keistemewaan. Tidak hanya penduduknya yang dikenal dengan keramahannya atau pun peninggalan sejarah yang bernilai tinggi, namun juga memiliki kearifan lokal yang sangat banyak. Salah satunya Merti Desa atau bersih desa. Pada hakikatnya merupakan sebuah kegiatan yang menjadi simbol rasa syukur masyarakat kepada Tuhan atas segala karunia yang diberikan-Nya. Karunia tersebut bisa berupa apa saja seperti rezeki, keselamatan atau juga kesalarasan dan ketentraman. Lebih dari itu, Merti Desa juga merupakan sarana untuk para penduduk bisa membina tali silaturahmi, saling menghormati, serta saling menghargai.
Selain sebagai wujud rasa syukur kepada Yang Maha Esa, Merti Desa juga merupakan sebuah perwujudan keselarasan manusia dengan alam. Dalam upacara Merti Desa selalu ada Gunungan yang dijadikan persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Gunungan tersebut isinya bisa bermacam-macam. Namun pada umumnya Gunungan dibuat dari hasil bumi lokal seperti buah pisang, ketela rambat atau sayur-sayuran.
Tata cara Merti Desa biasanya diawali dengan pengambilan air dari sendang atau sumber air setempat dengan menggunakan kendi. Kemudian dibawa oleh beberapa kelompok, salah satunya ada yang dibawa oleh para remaja muda. Kemudian air tersebut dikirabkan bersama dengan sesajen serta ubo rampe yang telah persiapkan dan diiringi dengan musik gamelan.
Setelah selesai dikirabkan, air tersebut di masukkan dalam sebuah “gentong” besar yang mana akan dibagikan dan diperebutkan oleh penduduk setempat, begitu juga dengan gunungan dan ubo rampe tadi.
Baik air maupun hasil gunungan tersebut dipercayai masyarakat setempat akan memberikan rejeki yang berlimpah dan keberuntungan. Sebagai rangakaian upacara Merti Desa, selalu ada acara kesenian tradisional seperti jathilan atau wayang kulit yang disaksikan masyarakat umum. Merti desa ini hingga saat ini masih dapat kita temukan di beberapa dareah di Kota Jogja seperti di kampung Gondolayu, Jetis dan sebagainya.